CERITA CINTA SEJATI ANTARA KEKASIH DAN SAHABAT
Kisah dalam cerpen cinta sejati ini adalah berdasarkan sebuah kisah nyata seorang wanita
yang menyadari penuh bahwa Ia sangat mencintai laki-laki yang kini
menjadi sahabatnya. Tetapi bagaimana dengan lelaki itu? Apakah Ia juga
merasakan hal yang sama terhadap wanita itu? Hmmm…
SEHARI [...dan jangan lagi ucapkan janji]
aku pernah miliki bunga indah warnai hariku
ketika dia pergi
aku hanya bisa menyesali
kudapati bunga indahku telah tertaman
bukan dihatiku
meski masih mencintai
bunga indah itu bukan untukku
hanya wangi dan indahnya yang tersisa untukku
selalu ada dalam hati ini
Hari Rabu ini tidak beda dengan hari yang lain di bulan ini. Hujan
baru saja berhenti, walau mendung masih terlihat di langit tapi
sepertinya hujan tidak akan turun lagi. Udara terasa lebih segar, debu
yang biasanya berterbangan tersapu tetesan hujan . Langit biru dan angin
yang bertiup pelan menambah segar siang ini. Siang yang indah. Aku
berharap indahnya siang ini tidak hanya di mata tetapi juga dapat
menambah indah hidupku.
Aku baru saja masuk ke dalam mall, aku tidak perduli dengan
orang-orang yang berjalan di depanku. Meski bukan musim liburan dan
akhir pekan tetapi pengunjung siang ini lumayan banyak dengan tujuan
yang berbeda mungkin belanja atau mungkin hanya sekedar membuang waktu
dengan berkeliling mall. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu. Menepati
janji.
Aku sampai di lantai dua dan melirik ke salah satu café di sana dan
tidak terlihat wajah yang aku kenal, aku mengarahkan mataku ke jam
tangan, 13.16. Berarti masih ada setengah jam lebih untuk menunggu dia
datang. Aku memutuskan untuk masuk ke satu café yang berhadapan dengan
tempat kita janjian, jadi aku bisa melihat kalau nanti dia datang.
Secangkir Cappucino baru saja disajikan di depanku, aku melirik ke
pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Aku melanjutkan membolak-balik
majalah yang memang tersedia di café itu sambil sesekali melirik ke café
di depan menunggu dia datang.
Waktu berjalan perlahan Cappucino dalam cangkir masih tersisa
setengah dan sama sekali tidak panas lagi. Perlahan aku mengangkat
cangkir dengan niat untuk menghabiskan sisa kopi sebelum jadi
benar-benar dingin. Tanganku tertahan ketika mataku secara sekilas
melihat wajah yang begitu akrab di mataku. Walau telah bertahun tidak
melihatnya tapi wajah itu tidak bakal bisa terlupakan. Wajah yang dulu
begitu akrab denganku.
Sama sekali tidak banyak yang berubah dari dia. Meski dia lebih
kelihatan dewasa dan lebih… *tiba-tiba jantungku berdetak tidak seperti
biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat.
Sementara hatiku memiliki keinginan yang lain, menahan kakiku untuk
melangkah dan membiarkan mataku untuk memandangnya lebih lama lagi dari
sini. Memandang sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata melepas
rindu yang selama ini terbenam dalam hati.
Dia menoleh ke dalam café, mungkin sedang mencari-cari tanda
kehadiranku. Tangannya mengeluarkan handphone dari dalam tas .
Jari-jarinya menekan tuts dan kemudian mendekatkan handphonenya ke
telinga. Kembali melirik ke dalam café,…
Handphone di dalam saku celanaku bergetar. Di layar handphone
tertulis namanya. Jawab tidak, jawab tidak, jawab…
“Hallo…”
“Hallo, aku udah di depan café, kamu di mana?
“Ehh, masih di jalan, ntar lagi sampai.” entah kenapa kata-kata itu
keluar begitu saja.
“Kamu tunggu disitu aja dulu, pesan minum atau apalah.”
“Ya udah, aku tunggu di dalam. Tapi jangan lama ya.”
“Enggak, paling lima menitan lagi.”
Dia masuk kedalam dan duduk di pojok café. Aku masih memperhatikan
dia yang sekarang lagi berbicara dengan pelayan café. Mungkin lagi
memesan minuman. Sekitar beberapa menit kemudian aku bergerak, membayar
kopi yang baru saja aku minum dan melangkah pelan ke café di depan.
Rasanya seperti mau kencan pertama.
Di depan pintu aku berdiri sejenak menatap ke meja di pojok café, dia
sedang sibuk membaca menu yang ada di depannya.
“Hai, lama nunggunya. Sorry ya”
Wajahnya terangkat mencari asal suara yang baru dia dengar. Matanya
menatap ke wajahku. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata
itu. Mata indah yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang
terindah yang pernah aku lihat.
“Enggak koq, aku juga barusan sampai.”
Aku duduk didepannya, lama aku berharap bisa bertemu dia malah
terkadang aku merasa kalau keinginan untuk bertemu lagi hanya menjadi
keinginan yang tak akan terwujud. Tapi hari ini keinginan itu telah
terpenuhi dia ada di depan mata, hanya berdua. Kita berdua
membalik-balik daftar makanan, sepertinya kita sama-sama sedang mencari
bahan untuk memulai pembicaraan.
“Dari rumah tadi jam berapa?” aku memulai pembicaraan
“Jam sepuluh” dia menjawab datar tanpa melepaskan pandangan dari menu.
“Makasih ya kamu mau datang. Di rumah hujan juga?”
“Iya dari pagi. Untung aja hujannya berhenti kalau enggak mungkin gak
jadi.”
“Hujan atau badai aku pasti tetap datang menepati janji.” Kali ini dia
memandang dingin kearahku “Iya, aku tau kalau kamu selalu menepati janji
kamu. Enggak kaya’ aku.”
“Eh, kenapa jadi ngomong kaya gitu. Sorry, aku cuma mau bilang kalo aku
benar-benar mau ketemu dengan kamu.”
“ Iya, aku tau.”
“Permisi, mau pesan sekarang?” pelayan café berdiri tepat disamping
meja.
“Eee..aku minta es green tea nya satu, kamu mau pesan makan?” Aku
melirik ke arahnya.
“Mmh, kayaknya ntar aja ya, aku masih kenyang. Aku pesen es teanya juga ”
“Ya udah Mbak, minum aja dulu ya, makasih.” Si Mbak menggangguk dan
pergi setelah mengulang pesananku tadi.
Kembali tinggal kita berdua, masih saling diam. Aku memandang
meja-meja di sekitar kita, mencari sesuatu yang bisa dijadikan bahan
pembicaraan, sayangnya tidak banyak tamu saat ini. Keinginanku untuk
bertemu begitu besar begitu banyak cerita yang ingin kubagi dengannya
begitu banyak cerita yang ingin kudengar darinya tapi saat ini aku tidak
tahu harus memulai dari mana.
Beberapa minggu sebelumnya, tepatnya tiga minggu yang lalu. Aku
mendapat pesan singkat SMS, “Hai, kamu lagi sibuk,ya. Cuma mau tanya
kabar kamu aja. R”. Saat itu aku sama sekali tidak tahu siapa pengirim
pesan tersebut, sampai kemudian aku membalas pesan tersebut dan
menanyakan namanya. Dan setelah mengetahui siapa pengirim SMS tersebut
begitu banyak kata-kata yang tertulis melalui SMS dari kita berdua.
Saling bertukar kabar, berbagi cerita yang kita alami selama ini,
mengenang masa lalu dan kita berhenti berkomunikasi saat itu ketika hari
hampir mendekati subuh.
Hari-hari berikutnya kita masih saling berukar cerita melalui pesan
singkat SMS, entah kenapa ketika kita berbicara langsung melalui telfon
tidak ada kata atau cerita yang mengalir. Setelah seminggu berlalu, aku
terpikir untuk bertemu dengannya.
Jadi alasan utamaku untuk pulang ke kota kelahirannku kali ini karena
ingin ketemu dengan dia. Melepas rindu dan berbagi cerita secara
langsung. Berbagi cerita tentang kita yang sudah lebih dari 10 tahun
tidak bertemu.
“Yenn sama Epan, gimana kabarnya. baik?’ aku menayakan kedua putranya.
“Baik.”
“Koq, enggak diajak ikut?’
“Emang kamu mau ngejagainnya?’ ada senyuman di wajahnya
“Yah kan bisa disuruh main sendiri.”
“Repot kalau bawa mereka.”
“Terus di rumah dengan siapa?”
“Di titipin ke tetangga! Ya pasti sama neneknya, lah.”
“Ibu gak nanya kamu mau kemana?”
“Aku cuma bilang mau ngumpul sama temen-temen kuliah.” Dia melirik
kearahku, “Benerkan, ketemu dengan teman kuliah.”
Duh susah banget, mau ngomong apa lagi nih. Aku bener-bener gak tau
mau ngobrolin apa. Belum lagi sikap dia masih dingin-dingin aja.
“Enggak terasa ya, sepuluh tahun gak ketemu.” kali ini dia mulai
bicara
“Bukan cuma tidak bertemu, kita sama sekali putus hubungan.”
“Sebenarnya dua atau tiga tahun yang lalu waktu aku lagi cuti, aku
sempat tanya-tanya tentang kamu ke temen-temen kampus dulu, mereka yang
kasih tahu kamu kerja dimana sekarang. Cuma waktu itu masih segan aja
untuk nelfon.”
“Sekarang udah enggak segan lagi?”
“Awal-awalnya agak ragu juga tapi daripada terus kepikiran ya nekat aja
nelfon.”
“Kepikiran apaan?”
“Yah, kepingin tahu aja kabar kamu. Kalau lagi liburan seperti ini aku
pasti masih sempat-sempatin ketemu semua temen baik di kampus dulu tapi
dengan kamu aku sama sekali belum pernah ketemu jadi penasaran aja.”
“Sekarang udah ketemu, gimana ada yang berubah atau masih sama kaya
dulu.”
“Secara fisik gak banyak yang berubah, yah paling berubah dikit lah.
Perubahan dari faktor usia yang semakin tua.”
Gelas minuman kedua baru saja disajikan kali ini dengan sepiring
sandwich. Tangannya meraih botol kecil yang berisi lada putih kemudian
menaburkan diatas chilli sauce. Sepotong kentang goreng diambil untuk
mengaduk-aduk chilli sauce supaya bersatu dengan lada putih. Kebiasaan
lamanya yang tidak aku lupa. Kebiasaan yang juga menular ke aku.
“Kebiasaan sambal dan merica belum hilang juga ya.”
“Kamu aja yang gak seneng pedes.”
“Enggak juga.”
“Tidak suka pedas juga enggak apa-apa, enggak usah malu.”
“Siapa yang bilang malu, aku sekali tidak menutupi kalau aku tidak suka
pedas.”
“Kok kamu jadi serius gitu, masa gara-gara cabe kamu jadi marah.”
Marah. Saat ini aku tidak bisa marah, kalau dulu aku bakal diam
seribu bahasa dan bermasam muka dan setelah itu dia bakal meminta maaf
dan mulai mengeluarakan suara manja meluluhkan hati. Tapi sekarang
rasanya jurus itu tidak mungkin lagi, aku harus tetap menjaga suasana
tetap ceria. Tetap tersenyum.
“Dulu kalau sudah kesel atau marah kamu pasti diem, gak mau ngomong
lagi.” dia seperti bisa membaca pikiranku.
“Itukan dulu kalau sekarang sudah beda.”
“Apanya yang beda?”
“Ya, beda aja.”
“Iya, apanya yang beda?”
“Dulu, kalo aku ngambek kamu masih mau mengeluarkan kata-kata manis
supaya baikkan lagi, kalau sekarang, memang kamu masih mau?”
“Merayu kamu dengan kata-kata manis, ke laut aja…”
“Satu yang tidak berubah dari kamu, masih tetap keras kepala…” Tiba-tiba
kalimatku terhenti, teringat ke masa lalu, kepala yang biasa bersandar
di bahuku, rambut yang dibiarkan panjang hanya untuk memenuhi
keinginanku. Kenangan dia dan aku terlintas memenuhi pikiranku untuk
sesaat.
“Hei, jangan bengong…” dia menghentikan hayalanku yang terbang ke
masa lalu.
“Mikirin apa, mikirin anak? Emang udah punya?”
“Mikirin kamu, kenapa kamu makin cantik.”
“Makasih ya, ntar minumnya aku yang bayar.” Suaranya datar dan
sepertinya tidak suka dengan apa yang baru aku ucapkan
“Kayaknya harga makanan lebih mahal dari harga minuman.” Aku mencoba
mendinginkan suasana.
“Ya udah, kalo gitu kita bayar masing-masing.” Nada bicaranya berubah.
“Cuma bercanda aja, koq jadi sensitif gitu…”
Dia diam tidak menjawab. Aku bisa merasa ada yang gak bener, pasti
dia gak seneng dengan kata-kata yang baru aku ucapkan. Setelah itu
tiba-tiba suasana menjadi beku. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang
menggangu dalam pikirannya dan aku sama sekali tidak tahu.
“Aku ke toilet dulu ya.” Dia cuma menggangguk wajahnya menatap kosong ke
luar jendela.
“Tolong jaga kursinya hanya untuk aku ya.” Dia hanya diam.
Sebatang rokok menempel di bibirku. Aku menghirup dalam rokokku dan
menghembuskan asapnya sekuat tenaga.
Berusaha mengeluarkan beban, yang aku tidak tahu beban apa yang sedang
aku pikul saat ini. Kebiasaan merokok yang sebenarnya sudah aku
tinggalkan enam bulan yang lalu. Entah kenapa di jalan aku beli
sebungkus rokok, tapi paling tidak saat ini ada manfaatnya.
Aku kembali masuk ke dalam café, syukurlah dia masih duduk manis di
pojok sana. Tidak semanis wajahnya saat ini. Aku melihat sebatang rokok
bermain diantara jarinya, belum dinyalakan. Aku mengeluarakan korek gas,
dan sebelum aku menyalakannya…
“Disini gak boleh ngerokok.” nada suaranya masih datar dan wajahnya
masih memandang keluar.
“O ya.”
“Mintain bill nya, kita cari tempat yang lain.”
Oh Thanks God, dia mau melihat ke aku lagi dan terima kasih juga dia
masih bilang nyari tempat yang lain bukan bilang mau langsung pulang.
Dia langsung menyerahkan beberapa lembar lima puluhan ribu rupiah ke
Mbak yang baru mau menyodorkan bill yang masih tertutup. Dia menyambar
tas tangannya, memasukkan dompetnya, meneluarkan handphone sebentar
melirik kalau-kalau ada SMS atau miss called. Memasukkannya kembali dan
langsung berdiri dan berjalan keluar dari café. Aku berjalan tepat di
belakangnya sebelum keluar kau melihat si Mbak tersenyum manis sambil
mengucapkan terima kasih. Rasanya si Mbak baru saja mendapat tips yang
lumayan.
Dia masih belum bicara, berjalan santai sambil melihat tempat yang
menurutnya ok. Langkahnya tiba-tiba berbelok ke salah satu café.
Menanyakan sesuatu ke hostess yang berdiri di pintu masuk dan kemudian
memberi tanda mengajak aku masuk.
Berbeda dengan café sebelumnya yang terang benderang, yang satu ini
suasananya lebih redup dengan alunan musik jazz. Suasana yang pas untuk
berduaan. Tidak terlalu ramai hanya ada beberapa meja yang terisi,
mungkin karena masih sore. Bagus untuk aku, jadi tidak terlalu berisik.
Dia kembali memilih duduk dipojok, dan langsung menyalakan rokoknya. Aku
tidak melihat ada asbak di atas meja. “Emang disini boleh ngerokok.”
Dia menaikkan kedua alisnya. Aku berani taruhan dia pasti menanyakan hal
itu dengan hostess di depan tadi.
“Kamu kenapa jadi diem, aku tadi salah ngomong ya ?” aku membuka
pembicaraan.
“Aku gak apa-apa.”dia menjawab seadanya sambil terus menikmati pasta
yang dia pesan.
“Kamu ngomong dong, cerita apa gitu. Jangan diem terus.”
“Kamu yang cerita, aku dengerin.”
Posisi yang sama sekali tidak menguntungkan untukku. Aku rasa dia
juga tau kalau aku bukan tipe orang yang bisa ngomong banyak. Tapi saat
ini aku harus bisa kalau tidak percuma aja aku ketemu dia dan kemudian
saling diam.
“Kenapa kamu belum menikah, Ello!?” pertanyaan itu keluar bersamaan
dengan pasta yang telah habis.
“Aku sudah pernah jawab pertanyaan itu lewat SMS, hanya tinggal menunggu
hari.”
“Kenapa baru sekarang, kenapa enggak 2 atau 3 tahun yang lalu.”
“Yah mungkin beberapa tahun yang lalu aku merasa belum siap aja. Belum
siap secara mental dan keuangan dan selama itu juga aku enggak terlalu
mikirin atau punya target menikah.”
“Berarti sekarang kamu udah siap.”
“Enggak juga. Tapi mau gimana lagi, aku juga sadar kalau sekarang umur
aku udah masuk kepala tiga. Jadi mau gak mau ya harus siap.”
“Terus sejak kita pisah, berapa lama kamu sendiri?”
“Aku enggak ingat.” aku tidak begitu nyaman dengan pertanyaannya.
“Dua tahun?.”
“Mungkin.”
“Kenapa sampai dua tahun, bukannya waktu itu kamu lagi di Malaysia.
Kenapa gak cari pacar disana? Kamu kan senangnya sama gadis Melayu.”
“Belum ketemu yang cocok aja, lagian aku kesana buat cari duit bukan
cari jodoh”
“Atau selama dua tahun itu kamu masih mikirin aku?”
Aku tidak bisa langsung menjawab, aku memandang wajahnya beberapa
saat. Aku sama sekali merasa tidak nyaman dengan suasana dan
pertanyaanya. Aku sama sekali tidak tahu arah pembicaraannya. “Aku gak
mau jawab”
“Kenapa?”
“Aku gak mau menginggat-ingat masa lalu kita dulu. Aku seneng banget
hari ini kita ketemu dan aku mau hari ini kita gak usah ngomongin yang
udah lewat. Takutnya nanti malah jadi salah pengertian terus marahan. ”
“Dua tahun kamu masih menunggu aku walau aku udah mutusin kamu. Kamu
pasti bener-bener kecewa waktu dengar aku sudah menikah.” Dia sepertinya
tidak perduli dan masih tetap terus menggungkit-ungkit masa lalu.
“Kita ngobrolin yang lain aja ya.”
“Tadi kamu suruh aku ngomong sekarang kamu suruh aku diam.”
“Aku bukan menyuruh kamu diam, kita ngomongin yang lain ya.”
“Aku mau ketemu kamu hari ini, karena aku mau kamu terus terang sama
aku. Aku gak mau terus-terusan merasa bersalah.”
“Merasa bersalah? Kamu enggak buat salah apa-apa.”
“Ello, aku mutusin kamu, aku buat kamu kecewa, aku enggak menepati janji
aku. Kamu bilang itu gak salah.”
Aku menarik nafas panjang, kenapa harus membicarakan yang sudah
berlalu. Kenapa harus membuka sesuatu yang hanya mengingatkanku dengan
kekecewaan yang sebenarnya sudah terobati.
“Itu sudah lama banget, gak perlulah dibicarain lagi. Aku kecewa waktu
kamu mutusin aku, tapi sebenarnya kamu sama sekali enggak pernah buat
janji apa-apa. Aku yang maksa kamu untuk berjanji.
“Maafin ya, aku udah bener-bener bikin kamu sakit hati aku bikin kamu
kecewa.”
Aku menghela napas, sebatang rokok kembali menempel di bibirku.
Sepertinya aku memang harus kembali mengingat kenangan masa lalu.
Kenangan yang selama ini telah aku tutup dan simpan dalam hati paling
dalam dan tidak perlu diingat lagi meski tak ingin membuangnya. Disimpan
tanpa harus membicarakannya apalagi harus membicarakannya dengan dia.
“Waktu kamu mutusin aku, untuk beberapa bulan aku masih berharap kamu
nelfon aku lagi. Aku sering ingat dengan kamu, mungkin karena waktu itu
aku belum dapat kerja. Tapi begitu aku dapat panggilan dan mulai kerja.
Aku sedikit bisa melupakan kamu…”
“Tapi kamu masih menunggu selama dua tahun.” dia memotong kalimatku yang
belum selesai.
“Emang iya, kadang-kadang aku masih ingat kamu, tapi hanya sekedar
pengen dengar kabar kamu. Itu aja gak mikirin yang lain.”
“Sebelum kamu pergi aku menulis banyak puisi cinta untuk kamu memberi
begitu banyak janji. Aku tulis karena aku sayang sama kamu dan aku mau
kita masih bisa jalan bersama lagi waktu kamu pulang. Sebelum kamu
pergi, di airport kamu menulis surat yang bilang kamu pasti kembali tapi
kamu juga mengucapkan kata-kata klasik “kalau memang jodoh pasti ketemu
lagi”, dan ternyata kita memang tidak jodoh. Mungkin jodoh kita hanya
sebagai teman, dan aku bisa menerima itu jadi gak ada yang perlu
disesali, gak ada yang perlu disalahkan.” Aku mengucapkan kata-kata itu
tanpa sedikitpun melepas pandanganku dari dia. Aku bisa melihat mata
indahnya sedikit berkaca menahan air mata. Aku ingin dia berhenti untuk
menyalahkan diri sendiri dan mulai membicarakan hal lain.
“Sekarang kamu udah ketemu aku, apa aku kelihatan seperti orang yang
masih patah hati atau frustrasi. Aku rasa enggak. Aku bahagia dengan apa
yang aku miliki saat ini, jadi kamu enggak usah terus merasa bersalah
gitu.”
“Tapi waktu aku mutusin kamu, kamu juga bilang kalau kamu akan selalu
dan akan tetap menunggu aku pulang. Aku masih ingat.”
“Oh, come on, waktu itu kita terpisah ratusan kilo dan kita hanya
berbicara lewat telfon. Apalagi yang harus aku buat selain meyakinkan
kamu dengan kata-kata. Aku sayang kamu tapi kalau bukan jodoh mau gimana
lagi.”
“Makasih ya, kamu selalu baik dengan aku.”
“Makasih juga untuk kamu, udah bayarin minum aku tadi.”
“Aku serius, kamu selalu baik sama aku. Sudah lama aku mau nelfon kamu,
bicara dengan kamu. Tapi aku takut kalau kamu masih marah sama aku,
enggak mau bicara sama aku.”
“Ini cuma masalah pacaran, kamu memang menggores luka di hati aku
meninggalkan bekas yang tak akan hilang tapi kamu bukan membunuh aku.
Jadi berhenti menyalahkan diri karena luka ini tetap memberi arti
tersendiri.”
“Kamu sempat-sempatnya berpuisi.” Ada sedikit senyum diwajahnya.
“Sekarang kamu sudah senyum, berarti kita bisa bicarain yang lain kan.”
“Aku mau dengar tentang pacar kamu, ketemu dimana orangnya seperti apa.”
“Gimana ya, orangnya baik…”
“Cantik, sabar, perhatian dan pasti…setia.”
“Kayaknya aku gak perlu jawab, kamu sudah kenal baik dengan dia.”
“Aku serius nih.”
“Siapa yang bercanda, aku belum selesai udah maen potong aja.”
“Oke deh, aku dengerin.”
“Sebelum kita pacaran kita berdua sudah jadi teman baik. Dia sudah tahu
kebiasaan-kebiasaan aku, yang baik dan yang buruk. Dan yang terpenting
dia selalu memotivasi aku dan selalu ada saat aku perlu. Dia juga bisa
menutupi kelemahan aku, terutama kebiasaan aku yang susah bicara, kalau
dia seneng banget ngobrol sama siapa aja. Kalau udah ngobrol susah
menyuruh dia berhenti.”
“Kamu sayang banget dengan dia ya.”
“Lima tahun jalan dengan dia.”
“Kamu masih kayak dulu ya, susah banget mengucapkan kata “sayang”, semua
perempuan pasti seneng kalau sering mendengar kata sayang dari
pacarnya. Kamu bisa menulis puisi cinta kamu juga setia, tapi kamu
jarang atau bisa dibilang tidak pernah mengucapkan sayang dan cinta
secara langsung. Kenapa ya, padahal kamu juga nggak rugi apa-apa kan.”
“Kata-kata gak punya arti kalau enggak bisa dibuktiin.”
“Seperti aku,ya.’”
“Oh God, please don’t start again.”
“Aku seneng bisa bikin kamu kesel.”
“Satu yang sama dari kalian berdua, dia juga enggak pernah bosan bikin
aku kesel.”
“Kamu kangen dia ya, kamu sayang dia, kan.” senyuman usil terlihat di
wajahnya.
Tidak ada lagi wajah sedih dan bersalah yang beberapa menit yang lalu
terlihat. Sekarang dia tertawa ceria. Senyum dan tawa membuat dia
terlihat lebih cantik, aku bahkan baru sadar kalau dia terlihat lebih
cantik dari yang aku ingat. Atau mungkin selama sepuluh tahun ini aku
membayangkan dia seperti wanita penyihir yang telah melukai hatiku.
“Anyway, terusin lagi cerita tentang pacar kamu.”
“Mau cerita apa lagi?”
“Ya, apa aja. Kalian jadiannya kapan. Dia kerja dimana, kamu liburan
disini kenapa gak diajak ikut?”
“Aku ketemu dia waktu di Malaysia, kita kerja di tempat yang sama.
Sering ketemu, sering ngobrol, sering jalan terus… yah, enak aja kalau
bareng dia.”
“Katanya ke Malaysia bukan cari jodoh”.
“Pertama dia bukan orang Melayu, yang kedua setelah dua tahun menunggu
“seseorang” dan tidak kunjung tiba aku jadi mikir, yah hidup mesti
diterusin.”
“Koq, gak diajak kesini, ketemu calon mertua…”
“Sekarang dia lagi di luar, dia dapat kesempatan untuk training dari
tempat dia kerja.”
“Training kemana?”
“Training ke luar”
“Ke luar negeri, koq bisa ya kamu selalu di tinggal pergi ke luar negeri
terus sama pacar kamu. Kenapa gak dilarang.”
“Kenapa harus dilarang, kalau seandainya aku dapet kesempatan yang sama
aku juga mau.”
“Kamu gak takut…”
“Gak takut di putusin lagi.” Aku langsung memotong kata-katanya.
“Kalau jodoh enggak bakal kemana, bener gak?”
“Aku doain kalian baik-baik aja, pulang dari sana langsung nikah.
Amin…amin…”
Tidak terasa sudah lama kita duduk disini, meja-meja disebelah juga
sudah mulai terisi. “Kita jalan keluar, yuk.” Dia menggangguk.
Dia berhenti di depan toko baju,“Masuk yuk, temenin aku nyari baju
buat Yenn.”
“No problem, Mam.”
Selagi dia sibuk memilih-milih baju yang tergantung, aku sama sekali gak
tau mau ngapain. Aku hanya memperhatikannya. “Yang jaga toko pasti
ngirain kita suami istri.” Dia gak jawab.
“Aku tunggu di luar ya.” Makin lama aku jadi serba salah, ini pertama
kali aku masuk ke toko pakaian untuk anak kecil. Sementara dia kelihatan
masih serius memilih baju. Baru beberapa langkah aku membelakanginya…
“Papa tunggu di kasir ya.” suaranya lumayan keras, atau memang
disengaja, cukup untuk membuat beberapa pasang mata melirik ke arah kita
berdua. Aku cuma bisa tersenyum meringis.
“Udah selesai belanjanya, Ma.” dia keluar setelah beberapa menit di
dalam toko. Aku mengulurkan tangan untuk membawa tas kertas berisi baju.
“Sorry ya, ngerepotin kamu. Makanya buruan kawin, biar cepet punya
anak.”
“Kamu tau kalau aku punya anak, aku mau anak cewek. Biar kalau udah
besar aku jodohin dengan anak kamu. Kita jadi besanan.”
Kita berdua berjalan ke lantai dasar, air mancur yang ada di depan
mall sudah terlihat. Rasanya aku belum mau keluar. Keluar berarti,
mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa. Kata hatiku masih belum mau
mengakhiri sore ini.
“Kamu mau pulang jam berapa?” kata ‘pulang’ sebenaranya tidak ingin
dan terasa berat aku ucapkan. Dia melirik ke jam di tangannya.
Sepertinya dia juga masih mau menjalani sore ini lebih lama.
“Kamu naik travel kan?” Gimana kalau kamu minta dijemput di rumah aku.
Jadi kita masih bisa ngobrol lagi sambil menunggu.” Ide untuk menahan
dia untuk tetap bersama dengan ku terlintas begitu saja dalam kepalaku.
“Gak apa aku nunggu di rumah kamu?”
“Kamu udah dianggap keluarga, ntar kan anak kamu nikah dengan anaknya
aku.”
“Aku telfon dulu ya.” Tidak menaggapi ucapanku.
Aku kembali memandang dia, entah kenapa aku begitu menikmati setiap
momen memandang dia. Tanpa harus mengucapkan satu kata, cukup hanya
dengan memandang dia saja.
“Hei, jangan melamun. Kita cari taksi yuk.” dia baru saja selesai
memesan mobil jemputannya.
“Jam berapa dijemput?”
“Setengah lapan, kenapa?”
“Gimana kalau kita jalan kaki. Cuacanya gak terlalu panas.” Aku sekali
lagi memberi usul untuk bisa lebih lama berdua dengan dia.
“Mmm, ya udah yuk jalan.”
“Kamu ingat terakhir aku telfon ke rumah kamu. Waktu itu kamu ngelarang
aku nelfon kamu, mulai sekarang bolehkan aku nelfon kamu kan?.” Kita
udah keluar dari area mall, berjalan di trotoar yang masih lembab
terkena hujan. Langkah kita pelan, seperti sedang menghitung jarak.
“Aku gak janji, susah untuk dijelasin.”
“Emang ada masalah, cuma ngobrol aja. Bukan mau ngajak kawin lari”
“Masalahnya suamiku…”
“Keren, gagah, penuh perhatian, taat beribadah.” Aku mencoba membalas
joke nya dia.
“Aku ngomong serius kamu malah bercanda.”
“Ok…ok. Sorry, emang kenapa dengan suamimu?”
“Dulu, sebelum kawin. Waktu masih pacaran dengan dia, aku cerita semua
tentang aku. Aku cuma mau dia tahu semua masa lalu aku, termasuk semua
bekas pacarku. Karena aku gak mau nantinya ada masalah setelah kami
menikah.”
Kita berhenti dibawah pohon besar. Beberapa pedagang parkir di
sekitar situ. Kita memilih duduk di dekat penjual kelapa muda. Aku yakin
dia membutuhkan beberapa teguk air untuk melanjutkan ceritanya.
“Dia juga sempat baca beberapa puisi yang kamu kasih ke aku. Bukan
aku yang nunjukin, tapi waktu dia lagi main ke kamar aku, dia yang liat
di atas meja.” Beberapa teguk es kelapa muda kembali membasahi, sebelum
dia melanjukan.
“Jujur aku bilang ke kamu sekarang. Meski kita udah gak ada hubungan
lagi, tapi aku juga masih sering ingat dengan kamu. Kadang aku sampai
nangis. Aku kesel sama diri aku, karena udah nyakitin kamu.” Aku kembali
bisa melihat ada air mata di wajahnya dan suaranya juga mulai bergetar.
Dia berusaha untuk melanjutkan.
“Aku masih ingat, waktu aku mutusin kamu. Kamu sama sekali enggak marah,
kamu malah bilang kalau kamu bakal tetap menuggu aku. Aku masih ingat
sampai sekarang, dan setiap kali aku ingat kamu, aku bener-bener merasa
bersalah. Apalagi waktu aku tahu dari temen-temen kuliah, mereka bilang
kalau sampai saat ini kamu belum marriage. Mereka enggak tahu banyak
tentang kita, tapi waktu itu aku merasa kalau kamu beber-bener buktiin
kata-kata kamu. Karena aku tau kamu selalu menuhi janji kamu.”
“Aku memang selalu berusaha penuhi janji, tapi come on, aku juga
masih sadar, gak sampai buta-buta banget.”
“Makanya aku senang waktu pertama nelfon kamu, kamu mau menerima dan
ngomong dengan aku. Apalagi waktu kamu bilang kalau kamu juga sudah
punya pacar dan berniat untuk menikah.”
“Aku masih normal koq. Masih butuh sentuhan wanita. Tapi kamu masih
belum jawab kenapa kita gak bisa saling tukar kabar?”
“Tadi aku udah bilang, kalau sejak aku mutusin kamu aku masih sering
ingat kamu. Dan kalau aku ingat kamu, aku baca puisi yang kamu tulis.
Biasanya semua puisi kamu aku simpan dan cuma aku yang tahu tempatnya.
Mungkin hari itu lagi sial, puisi-puisi kamu masih ada di meja dan dia
masuk ke kamar. Dia baca puisi kamu. Setelah itu dia bilang kalau kita
masih saling berhubungan. Aku enggak perlu bilangin semuanya. Yang
jelas, setelah itu sepertinya nama kamu seperti “penyakit” mematikan
buat dia.”
“Hanya karena beberapa lembar puisi..”
“Dia melarang aku untuk menelfon atau berhubungan dengan kamu. Kadang
aku juga sering marah dengan dia, gara-gara dia selalu curiga kalau aku
lagi menelfon. Kalau selesai menelfon pasti nanyakin, tadi nelfon siapa,
kenapa nelfonnya lama. Padahal waktu itu kita masih pacaran, belum
nikah.”
“Cemburu tanda sayang, dia pasti sayang banget dengan kamu,ya.”
“Tapi yang aku enggak ngerti, dia cuma cemburu dengan kamu. Kalau aku
bilang aku nelfon dengan cowok lain dia enggak marah. Meski aku bilang
nelfon salah satu bekas pacar aku yang lain, dia gak marah. Dia hanya
tidak mau aku berhubungan dengan kamu.”
“Aneh. Aku malah sama sekali sudah lupa apa yang aku tulis di puisi itu.
Kamu masih simpan gak?”
“Puisinya diambil sama dia, gak tau diapai.”
“Bener-bener aneh, cemburu dan benci dengan aku hanya karena puisi.” Aku
bangkit dari tempat duduk, membayar kelapa muda dan beberapa potong
gorengan.
“Terus kalau dia tau sekarang kamu lagi jalan dengan aku, gimana?”
“Kalau kamu enggak ngomong, dia enggak bakal tau. Aku juga enggak cerita
dengan temen yang lain kalau hari ini aku ketemu dengan kamu.”
“Gimana dengan bapak kelapa muda tadi atau si Mbak penjaga toko? Gimana
kalau ternyata mereka agen mata-mata yang dikirim untuk mengawasi kamu.”
“Kamu dari tadi bercanda terus gak pernah serius.”
“Sekarang aku lagi cuti, lagi liburan. Aku gak mau pusing. Masalah
suamimu yang benci dengan aku. Aku gak mau terlalu mikirin, aku belum
pernah ketemu dia, aku gak kenal dia. Yang penting hari ini aku jalan
dengan istrinya tersayang.” Marah, cemburu dan benci dengan aku hanya
karena membaca puisi yang aku tulis, aneh ….
Kita sudah berjalan lebih setengah jalan menuju rumahku. Sekarang
kita berdua berdiri di perempatan jalan, bukan jalan besar tidak ada
lampu merah, hanya beberapa sepeda motor dan beberapa mobil hilir mudik.
Aku secara refleks memegang tangannya untuk menyebrang, tidak ada
penolakan darinya.
“Kalau dia tahu, tangan itu bakal direndam kembang tujuh taman selama
enam malam.”
“Udah, enggak usah ngomongin dia lagi.”
Aku tidak tahu seperti apa akhir dari hari ini, meski sempat ada
suasana yang membuat kita tidak nyaman tapi sampai saat ini semua begitu
indah. Kita berdua bisa bertukar cerita, air mata dan ada tawa. Alam
yang bersahabat, hujan yang berhenti tepat pada waktunya dan membiarkan
angin yang setia mendinginkan sore ini. Thanks God,….
“Kamu sering jalan kayak gini?”
“Sering sih enggak, tapi pernah lah beberapa kali.”
“Dengan pacar kamu?”
“Enggak, sendiri aja.”
“Sendirian? Bukannya malah kayak orang lagi frustrasi.”
“Enggak juga, kalau dipikir-pikir jadi seperti meditasi. Beberapa orang
percaya pergi ke tepi pantai ke tengah laut atau ke puncak gunung untuk
bermeditasi. Aku melakukan meditasi di tengah kota. Ini namanya meditasi
terbaru, merenung dalam keramaian.
“Aneh…”
“Susah untuk aku jelasin, tapi kamu boleh coba kapan-kapan. Jalan
sendirian ditengah kota, merhatiin orang-orang yang jalan. Masuk ke
pasar, atau bicara dengan pedagang, supir angkot, tukang sapu jalan
dengan siapa aja yang tidak kamu kenal terus jalan lagi. Kamu harus coba
sendiri baru bisa ngerasainnya.” Dia sepertinya masih belum mengerti.
“Kamu pernah nonton film Before Sunrise ?”
“Mmm, kayaknya enggak, kenapa?”
“Cerita filmnya kurang lebih sama seperti kita sekarang. Enggak
sepenuhnya sama. Ceritanya tentang dua orang yang lagi liburan, cowok
sama cewek sama sekali belum pernah ketemu sebelumnya terus kenalan di
kereta api terus mereka sama-sama turun di satu kota tapi sama sekali
bukan kota tujuan mereka berdua. Abis itu mereka jalan keliling kota
sambil ngobrol tentang apa aja. Sampai pagi.”
“Kayaknya aku gak mau keliling sampai pagi, makasih ya.”
“Kalau seandainya kamu sanggup jalan sampai besok pagi, aku juga gak mau
jalan keliling kota. Mendingan aku ngajakin kamu check-in. Biar suami
kamu kena stroke! hahahaa…”
Satu pukulan mendarat di bahuku. Dan sepertinya dia sudah siap dengan
satu pukulan lagi tapi aku menghindar lebih dahulu. Berlari ke depan
meniggalkan dia beberapa langkah di belakang. Aku berdiri menunggu dia
menghampiri, dia berjalan pelan sambil tersenyum. Sore ini begitu
sempurna. Cuaca yang indah dan dia… memang lebih cantik…
Satu pukulan lagi di bahuku, kali ini lebih keras dari yang pertama.
Menghentikan pikiranku yang sedang menikmati dia yang terlihat lebih… Ok
cukup! Kembali ke dunia nyata.
“Masih mau jalan? Kalau enggak kita bisa naik angkot dari sini.” Aku
menawarkan alternatif, walau aku berharap dia masih mau melanjutkan
dengan berjalan kaki.
“Jalan aja, gak apa. Tapi kalau ada warung duduk bentar ya.”
“Di depan ada mesjid, sekalian mau wajib “lapor.”
Aku baru keluar dari mesjid, dia sudah menunggu di luar. Beberapa
pedagang makanan di halaman mesjid. Tiba-tiba aku jadi lapar.
“Aku lapar, makan bakso yuk.”
“Kamu aja yang makan, aku masih kenyang.”
“Enggak jadi ah…”
“Bener gak apa, kamu makan aja. Aku pesan minum aja.”
“Kamu masih sering makan kayak gini?” dia memulai pembicaraan sambil
menunggu pesanan bakso.
“Enggak salah nih. Bukannya situ yang lama tinggal di luar negeri..”
“Jangan salah, disana juga ada bakso tau.”
“Dimana-mana bakso itu ada, namanya aja yang beda.”
“Koq jadi bakso ya, tadi itu maksud aku kamu masih sering makan di
warung pinggir jalan gini. Kamu kan kerjanya di hotel yang serba bersih,
rapi, serba teratur gitu.”
“Sama sekali gak ada hubungannya. Sampai sekarang aku masih merasa
makanan tradisional yang dijual di pinggir jalan jauh lebih enak
daripada yang ada di restoran atau hotel. Serius.”
“Makan bareng pacar kamu ya?” Aku diam saja tidak menjawab.
“Kamu jadi ingat dia ya?” dia masih berusaha menggoda
“Tapi kalau dipikir-pikir, masak masakan Eropa lebih gampang dari
masakan kita. Bumbunya gak ribet.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Emang kamu disana sering masak?”
“Masak sih enggak, cuma bantu motong dan cuci piring.”
“Berarti yang masak pacar kamu ya. Kesampaian juga keinginan kamu dapet
cewek yang pinter masak.” Aku cuma senyum.
“Sebelumnya aku ngirain hari ini, kalau kamu pasti marah-marah dan
melampiaskan kekesalan kamu selama ini. Mengungkit-ungkit masa lalu,
nanyakin macam-macem. Eh, gak taunya malah aku yang mulai mengungkit
masa lalu. Kamu malah santai aja, kayak gak pernah sakit hati”
“Kejadiannya sudah lama banget, lagian kalau hari ini aku marah-marah
sambil teriak juga gak ada untungnya sama sekali. Mungkin kamu juga
langsung pergi. Gak mau nelfon aku atau ketemu aku lagi.”
“Yah, seandainya aku bisa.”
“Bisa apaan? Telfon-telfonan dengan aku? Takut ketahuan sama suami kamu?
Gak usah dipikirin, santai aja. Cukup kita jalanin hari ini, besok…,
yah liat besok aja.”
“Bener apa kata orang-orang ya. Kita jadi lebih sayang dengan sesuatu
waktu kita udah gak memilikinya lagi.” suaranya pelan nyaris tak
terdengar.
Rasanya aku ingin memegang tanganya, mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.
Memeluknya dan bilang kalau aku masih dan tetap sayang dengannya.
“Orang-orang juga percaya, selalu ada kesempatan kedua untuk nunjukin
perasaan kita yang sebenarnya. Aku juga merasa kalau aku tidak
bener-bener buktiin kalau aku sayang dengan kamu. Tapi aku udah gak bisa
buat apa-apa lagi.” Dia tidak berkata apapun.
Aku berhenti sejenak, menarik nafas. Kenangan masa lalu kembali
melintas dalam pikiranku.
“Butuh waktu 3 tahun sampai aku akhirnya nelfon ke rumah kamu.
Keinginan untuk tahu kabar kamu ngomong dengan kamu begitu kuat. Aku
sempat bicara dengan adik kamu, dia yang bilang September kamu pulang,
sekitar tiga bulan lagi. Dia bilang September kamu pulang dan menikah.
Keinginanku untuk tahu kabar tentang kamu kesampaian, walau sebenarnaya
bukan kabar yang aku harapkan. September, dua hari sebelum kamu nikah.
Aku masih ingat, aku nelfon ke rumah kamu lagi. Aku hanya mau ngucapin
selamat dan berharap kita bisa berhubungan lagi, sebagai teman…”
“Udah gak usah di omongin lagi.” Dia menghentikan omonganku.
“Aku mau bilang, kalau aku sudah melepas kesempatan pertama dan aku sama
sekali tidak mau kehilangan kamu untuk ke dua kali. Waktu aku tahu kamu
mau menikah aku tidak kecewa, sama sekali tidak. Aku cuma mau kita
masih bisa ketemu atau ngobrol jadi teman baik, itu aja ”
“Aku tau, tapi kamu tahu kan. Aku tidak bisa berjanji, aku sekarang
enggak sendiri…”
“Iya, suami kamu. Aku ngerti. Aku juga gak mau kamu jadi ribut dengan
dia karena aku. Aku jadi penasaran dan sama sekali enggak ingat apa yang
dulu aku tulis sampai dia jadi begitu cemburu dan kesal dengan aku
hanya karena puisi itu.” Aku menekan kepalaku berusaha menggingat puisi
yang pernah aku tulis.
“Ngomong-ngomong, kamu masih sering nulis puisi?”
“Iya, kadang-kadang, kalau ada ide aku tulis.”
“Puisi untuk pacar kamu?”
“Mostly about love, tentang
perasaan kalau lagi jatuh cinta, tentang kecewa karena putus
cinta. Pokoknya masih seputar cinta-cintaan.”
Kita sudah sampai di depan rumah. Dia masuk berjalan di halaman
sambil mencari perubahan yang ada selama beberapa tahun. Tidak ada
banyak perubahan. Hanya beberapa bunga dan pohon yang berganti.
Aku melangkah ke teras rumah. “Mau cuci muka, benerin make up kamu
atau sekalian masak buat makan malam, nyapu atau nyetrika?”
“Emang aku pembantu.” Dia langsung menjatuhkan badanya di kursi rotan
sambil menghela nafas.
“Capek ya. Aku masuk dulu ya, sekalian ngambil minum.” Aku melangkah
masuk ke dalam sambil meliriknya yang duduk dengan pasrah.
“Hei…” aku menyadarkan dia yang sedang menutup mata sambil
menyodorkan handuk basah.
“Waw, cool towel. Baik banget.”
“Delapan tahun aku di gaji untuk melayani orang yang tidak aku kenal.
Bolehkan sekali-kali aku melayani teman sendiri. Lagian, cukup suamimu
kesal dengan puisiku. Jangan sampai dia tahu kalau kamu bermandikan debu
karena aku. Bisa bunuh-bunuhan.”
“Ini air putih atau vodka, ntar aku mabuk kamu macem-macem lagi.” Dia
melirik ke gelas yang berisi air putih di meja.
“Kalau mau, dulu juga bisa koq. Enggak usah pake alkohol juga gak apa.”
“Shut up.”
Sepertinya kita berdua sama-sama sedang menikmati kesunyian. Setelah
berjalan di tengah kota dan sekarang hanya duduk di teras, suasana
terasa sunyi.
“Kalau seandainya, kamu bisa kembali ke masa lalu. Apa yang mau kamu
perbaiki?”
“Aku sama sekali tidak mau kembali ke masa lalu.”
“Cuma seandainya…”
“Aku tetap gak mau.”
“Kalau aku, aku mau kalau waktu itu aku gak usah ceritain tentang kamu
ke suami aku. Dan aku gak lupa nyimpan puisi-puisi kamu. Jadi dia gak
baca dan gak cemburuan dengan kamu.”
“Kirain kamu mau bilang, kalau kamu gak pergi ke luar negeri dan nyari
kerja bareng dengan aku.”
“Katanya gak mau berandai-andai.”
“Yah sekedar menyenangkan hati kan gak apa.”
Aku kembali memandang dia kali ini dia berbalas memandang aku. Sunyi.
Untuk beberapa saat kita hanya saling memandang. Pikiranku kosong. Aku
hanya ingin diam.
“Aku mau tanya sesuatu tapi kamu jawab jujur ya. Kamu mau ketemu
dengan aku hari ini maunya apa? Kamu jawab jujur.” Dia memecah
kesunyian.
“Yang pasti ketemu kamu, ngobrol dengan kamu terus apa lagi ya. Ya itu
aja. Kenapa sih?”
“Maaf kalau aku ngomong gini. Apa kamu masih sayang sama aku? Apa kamu
masih mengharapkan aku balik ke kamu?”
“Sayang sama kamu, iya dan tidak akan pernah berubah. Aku sayang sama
kamu selamanya cuma kali ini sayang as a friend, very close friend,
untuk mengharapkan kamu balik? Enggak, kamu istri orang, ok. Ngapain
juga kamu tanya kaya gitu?” Aku tidak suka dengan nada suaranya.
“Kamu sadar gak kalau hari ini, dari cara ngomong dan dari cara kamu
ngeliat aku. Sepertinya kamu enggak hanya sekedar mengharapkan aku as a
friend. Walau kamu ngomongnya sambil bercanda tapi dari mata kamu, aku
merasa kalau hati kamu bicara lain.”
“Kamu masih punya suami dan aku juga punya pacar yang…”
“Yang apa? Yang kamu sayang? Kamu juga gak bisa bilang kata sayang dia
di depan aku.”
“Kamu koq jadi ngomong ngelantur gini?”
“Kamu bilang karena aku masih punya suami, kalau aku cerai kamu masih
mau terima aku lagi?”
“Hei, kamu makin gak bener…”
“Aku ngomong bener, aku sadar yang aku omongin. Kalau aku cerai kamu mau
nikah dengan aku? Kamu jawab jujur. Kamu bilang kamu bakal tunggu aku
kembali, sekarang kamu mau terima aku? Kamu bisa penuhi janji kamu? Kamu
sayang aku…” kata-katanya terhenti berganti dengan tangis.
Oh My God, kenapa tiba-tiba jadi seperti gini. Kenapa jadi ada
kata-kata cerai dan menikah. Skenario seperti ini seharusnya tidak ada
dalam cerita indah sore ini. Memeluknya untuk mendinginkan hatinya
rasanya bukan tindakan yang tepat. Menemukan kata-kata yang menghibur
juga bukan mudah. Aku hanya diam.
Aku yang masih sayang dia. Aku yang harus penuhi janji. Aku yang
tidak mengucapkan sayang dengan kekasihku. Suaminya yang benci dengan
puisiku. Dia yang mau cerai. Dia yang mau dinikahi. Kenapa tiba-tiba dia
membicarakan semua ini.
“Rose, kamu baik-baik aja?” Aku menyentuh tangannya pelan, tangisnya
mulai reda meski isakan dan airmata masih tersisa. Aku tidak tau harus
melanjutkan kata-kata apa lagi. Aku takut salah bicara.
Untuk beberapa saat aku masih memegang tangannya berpindah duduk
tepat disampingnya. Sentuhan ditangannya kini berganti usapan halus,
masih tidak ada kata yang terucap. Aku saat ini benar-benar butuh
nikotin, kafein atau mungkin alkohol untuk menenangkan perasaan aku.
“Kalau kamu udah baikan, kamu ngomong ke aku masalah kamu, apa aja.
Kalau aku bisa bantu aku bantu.” cuma itu kata yang bisa keluar dari
mulutku.
Dia menarik nafas panjang matanya memandang kosong ke depan. Perlahan
tangan kanannya menghapus bekas air mata yang masih tersisa, tangan
kirinya masih belum terlepas dari genggamanku.
Perlahan pandangannya beralih menatap wajahku, hanya beberapa detik tapi
terasa lama. Memandangiku seperti sedang mencari sesuatu, sesuatu yang
tidak aku mengerti dan hanya ada dalam pikirannya. Kita masih
berpegangan dan ada senyum kecil di wajahnya. Ketika aku masih dipenuhi
ketidaktahuan dia memberi satu kecupan di pipiku.
“Aku boleh pakai toilet di dalam.” Dia berdiri dengan masih memegang
tanganku. Aku hanya menggangguk pelan, pikiranku masih kacau dengan
semua pembicaraan dan kejadian selama 5 menit sebelumnya.
Aku berdiri dan berjalan didepannya. Aku baru saja melangkahkan
kakiku ketika dia menyentuh bahuku dan aku menoleh kearah dia.
“I love you…” Wajahnya tepat berada di depanku. Kata-kata itu terucap
pelan tapi kembali membuat aku terpaku beberapa saat sebelum kembali
membalikkan badan masuk ke dalam.
“Ibu permisi ke kamar kecil ya.” Dia menyapa ibuku yang duduk di
ruang keluarga.
“O iya, silahkan di belakang.” Ibukku sepertinya sedang mengamati dan
menggingat-ingat dia. Aku mendekati lemari es, segelas air dingin
mungkin bias menenangkan hatiku. Aku melirik ke arah ibuku yang
sepertinya masih berusah mengingat dia.
“Ello…!? Dia itukan…!??” kata-kata ibuku terhenti ketika suara pintu
terbuka.
“ Ma kasih ya Bu. Saya duduk di luar.” Dia melangkah di depanku, aku
sempat melirik ke ibuku dan sepertinya dia sudah ingat perempuan yang
baru saja berlalu didepannya. Dan akhirnya tahu tujuan utama aku cuti
satu minggu saat ini.
Sebenarnya aku tidak mau menanyakan atau mengungkit kembali semua
yang baru saja dia ucapkan. Tapi rasa keinginan tahu juga begitu besar
dalam kepalaku. Beberapa jam lagi mobil jemputannya datang dan membawa
dia pergi. Seandainya aku tidak menanyakannya dan mendapat jawaban yang
pasti, aku berani jamin aku tidak akan bias tidur malam ini dan cerita
sore yang indah ini akan berantakan.
“Kamu mau jelasin ke aku, yang tadi kamu omongin?” Dia tidak
menjawab, dia masih sibuk dengan peralatan make up nya. Membetulkan
wajahnya yang ternoda oleh debu dan air mata. Pandanganku tertuju ke
halaman kali ini aku tidak mau memandangnya. Aku tidak mau lagi
pandangan ini disalahartikan.
“Aku memang lagi ada masalah dengan suami aku.” Dia telah selesai
dengan make up nya.
“Tapi gak ada hubungan dengan kamu koq.”
“Kamu mau cerita?”
“Sebenarnya sama seperti masalah suami istri yang lain. Beda pendapat
terus marahan besoknya baikan lagi. Terus berantem lagi. Tapi lama-lama
jenuh juga.”
“Kalau cuma masalah rumah tangga biasa, kenapa pake bawa-bawa kata
cerai?”
“Tadi aku barusan bilang, jenuh. Capek terus-terusan seperti ini.”
“Cerai bukan jawabannya”
“Kayak kamu sudah nikah aja.”
“Aku kenal kamu bukan sekedar teman. Aku tahu kebiasaan kamu. Aku juga
bisa merasa kalau masalah kamu bukan cuma jenuh, tapi lebih dari itu.
Aku gak bisa maksa kamu cerita, tapi kalau kamu mau aku selalu ada.”
Dia hanya diam, mungkin dia masih ragu antara menceritakan semuanya
dengan aku atau tetap diam.
“Dia mukul kamu atau dia suka mabuk?” aku menyebut dua hal yang dia
tidak suka dari laki-laki.
“Maksud kamu?”
“Hanya dua hal itu yang bisa bikin kamu mengucapkan kata cerai. Jenuh
atau bosan mungkin bisa jadi alasan buat putus dengan pacar tapi enggak
untuk suami istri. Kalau selingkuh, aku rasa suami kamu gak terlalu
bodoh untuk selingkuh kalau punya istri kayak kamu.”
“Kenapa kamu selalu baik dengan aku. Kenapa kamu tidak pernah ngomong
kasar atau memaki aku.”
“Kamu gak buat salah apa-apa, so kenapa aku harus…”
“Enggak cuma sekarang, gak cuma setelah aku mutusin kamu. Waktu kita
masih pacaran, kamu juga selalu memaafkan aku gak pernah kasar…”
“Aku baik koq malah jadi salah.”
“Kamu selalu baik dan terlalu baik, dan tidak berubah.”
“Tidak cukup baik. Kalau aku sebaik yang kamu rasa, kamu gak akan
mutusin aku waktu itu.”
“Aku sama sekali tidak pernah menjalin hubungan jarak jauh dan aku
juga enggak yakin kalau aku bisa. Makanya aku enggak mau kasih janji
untuk kamu.”
“Ok aku tau itu. Sekarang kamu mau cerita masalah kamu dengan suami
kamu?”
Dia menghela nafas. “Dia sama seperti kamu. Sabar dan perhatian
dengan aku, enggak cuma waktu pacaran sampai dua tahun setelah nikah dia
masih sama.”
“Waktu Yenn lahir, dia lahir disini. Aku tinggal satu tahun disini
dia masih tetap disana. Kita ketemu dua kali selama setahun itu, gak ada
yang berubah masih sama. Tapi setelah satu tahun dan aku mulai kerja
aku merasa ada yang berubah. Hal-hal kecil bisa jadi masalah gak cuma
marah tapi pakai lempar-lempar barang. Sampai saat itu aku masih sabar.
Sampai tahun lalu, aku enggak bisa terima lagi karena dia sudah melewati
batas, dia…”
“Dia mukul kamu?”ada emosi di hati aku
“Kamu juga tahu, aku enggak bisa terima kalau aku sampai dipukul.”
“Kejadiannya, dia mukul kamu setahun yang lalu.”
“Kata-kata cerai sudah aku sebut waktu itu. Tapi kamu tau sendiri, cerai
tidak semudah mutusin pacar. Aku juga harus mikirin anak, terus ada
keluarga yang juga ikut campur. Ibu dia yang ikut minta maaf. Banyak
yang harus dipertimbangkan, terutama anakku.”
“Berarti sudah gak ada masalah lagi kan?”
“Dia memang tidak pernah main fisik lagi. Tapi marah karena hal-hal
sepele dan banting-banting barang, mukul tembok atau pintu masih sering.
Aku cuma merasa hanya menuggu waktu dia mukul aku lagi.”
“Aku sama sekali tidak mengerti kenapa harus memukul orang yang
jelas-jelas lebih lemah. Bukan merendahkan kamu tapi seandainya kamu
punya kemampuan bela diri aku rasa dia bakal mikir dua kali untuk mukul
kamu. Aku enggak pernah mengerti, memamerkan kekuatan fisik untuk
menunjukkan kekuasaan atau malah sebaliknya hanya membuka kelemahan
jiwa.”
“Aku cuti sekarang ini juga tanpa seizin dia, tapi aku enggak
perduli. Aku hanya mau jauh dan enggak mikirin dia.”
Aku seperti melihat ada beban yang terangkat dari pundaknya.
Berbicara dan berbagi cerita memang tidak menyelesaikan masalah yang
sebenarnya. Tapi cukup untuk meringankan pikiran dan menyenagkan hati
mengetahui ada teman yang mau ikut berbagi.
“Aku belum pernah cerita masalah ini sama orang lain. Mereka cuma
tahu aku ada masalah dengan suami aku, cuma itu saja. Aku enggak tahu
kenapa aku cerita semuanya sama kamu.”
“Aku tahu kenapa. Karena kamu maksa aku untuk kawin dengan kamu.” aku
tersenyum sambil melihat dia. Semoga dia tidak salah mengerti.
“Lupain saja yang tadi aku ucapin. Aku enggak sungguh-sungguh. Aku juga
enggak mau merusak hubungan kamu sama dia. Kamu gak pantes dapat janda.”
“Gak ada yang tahu apa yang ada di depan sana. Siapa yang tahu kalau
setelah 10 tahun kita bisa ketemu seperti ini. Dan hanya dalam beberapa
jam kita sudah bicara banyak.”
“Aku senang bisa ketemu dan bicara sama kamu lagi. Termasuk ngomongin
masalah pribadi aku.”
“Kamu bisa cerita kapan saja sama aku. Masalah kamu sama suami, mungkin
enggak pantas kalau aku ikut campur terlalu jauh. Masih ada keluarga
kamu yang lebih pantas kamu dengar nasihatnya. Tapi apapun nanti jalan
yang kamu ambil aku mendukung kamu.”
“Kalau seandainya aku milih cerai?”
“Kalau kamu siap jadi istri kedua, aku siap. Gak cuma bercanda. Aku rasa
masih banyak pengusaha tua yang siap menerima…”
“Shut up…!”
“Sorry, sekarang serius nih. Seperti aku bilang, apapun keputusan kamu
aku selalu mendukung. Kamu lebih dari sekedar teman buat aku.”
Sore sudah berlalu dan langit juga tak lagi biru di depan pagar mobil
jemputan sudah menuggu. Kita berdua tahu saat ini pasti tiba dan ketika
dia datang kita tak rela, kita merasa masih banyak cerita yang belum
dibagi.
“Ya udah, gak enak sama mereka menuggu terlalu lama.” Aku mencoba
menutup cerita sore ini meski tidak sepenuh hati.
“Kamu kapan balik?”
“Jumat pagi.”
“Aku masih mau ketemu kamu, jalan sama kamu lagi, tapi..”
“Kamu gak usah bilangin, aku juga udah tau.”
“Ma kasih ya. Aku…”
“Gak usah sebutin gak usah buat janji. Kita pasti ketemu lagi.” Aku
memegang tangannya menatap matanya meyakinkannya. Tubuhnya merapat dan
aku memeluknya.
“Aku pergi ya.”
Aku mengangkat jariku dan mendekatkan ke wajahnya. Memberi tanda
untuk tidak lagi mengucapkan kata-kata. Aku memberi satu kecupan di
keningnya dan melangkah mundur. Dan dia pergi.
Aku masih berdiri terpaku, mobil yang mengantarnya telah berlalu
bahkan debunya juga telah tersapu. Aku mencoba mengingat dan menyatukan
setiap detik dan menit di sore yang baru saja berlalu.
Perlahan aku menyentuh kalung yang dari siang ini menggantung di
leherku menggosoknya dengan jariku dan kemudian melepaskannya dari
leherku. Aku membuka kedua ujungnya dan mengeluarkan cincin yang terikat
di kalung itu. Aku memandang cincin itu membaca tiga huruf yang terukir
di bahagian dalamnya… Chi. Aku tersenyum dan memasangkan cincin itu
kembali ke jari.
Satu janji yang pasti dan akan aku
tepati…
…
…
dan kini telah kutemui
bunga indah lain mengisi hari
meski wangi dan indah berbeda
tapi akan tetap selalu kujaga
dan kali ini
tidak akan kubiarkan dia pergi
ku pasti penuhi
semua janji
Jumat, 08 Juni 2012
cerita cinta bagus
13.50
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar